Selasa, 26 April 2011

Prostitusi Aceh Year 2011


Mahyal De Mila - Opini
ACEH sedang giat-giatnya menegakkan syariat Islam. Namun sayangnya, semakin giat pula “wabah” prostitusi merajalela di Aceh. Seakan-akan mata kita (orang Aceh) sudah tertutup untuk mengatasi tingkah manusia kebal muka yang menjajakan diri di tengah kota Banda Aceh.

Saya selaku orang Aceh tulen (mungkin juga Anda) sangat malu ketika beberapa hari lalu melihat secara langsung program salah satu televisi swasta yang menayangkan kegiatan prostitusi di Aceh.

Program itu bertajuk “Bisnis Syahwat di Aceh”. Tentu ini akan mencoreng nama baik Aceh. Dan bisa dipastikan, orang Aceh bakal menanggapi acara ini dengan persepsi yang berbeda-beda.

Menurut saya acara itu, memberi kesan bahwa Aceh “kreueh i luwa leumoh i dalam (keras di luar lemah di dalam).” Buktinya, ketika seorang Aceh berada luar Aceh, lalu keacehannya diketahui orang luar itu, maka pasti ia akan disuruh jadi imam, meski si Aceh itu tak pernah shalat saat di Aceh. Maka tak salah jika Aceh dikenal orang luar Aceh dengan kentalnya Islam yang kuat (bukan fanatik) dalam jiwa orang Aceh sendiri, sehingga menjadi suatu kebanggaan tersendiri saat kita pergi keluar Aceh.

Tapi sekarang ketenaran itu sudah pecah, seperti kata komentar kawan saya dari Jakarta awal April lalu ketika berkunjung ke Banda Aceh, “ternyata Aceh tak seperti yang kukira.” Saya yakin, kawan saya tidak bercanda. Bisa jadi ke depan, orang luar Aceh yang berkunjung ke Aceh akan berkomentar lebih pedas lagi daripada kawan saya itu jika proyek prostitusi dan kriminalitas--di mana dulu berita kriminalitas hanya ada di luar Aceh, tapi kini setiap hari ada berita tindakan kriminal di media massa Aceh--itu kian merajalela.

Untuk menguatkan realitas “sumber” prostitusi itu, saya menelusuri sepanjang jalan Kota Banda Aceh ketika malam hari, mulai dari Jambo Tape hingga ke Peunayong. Sungguh terdapat banyak wanita (kemungkinan besar PSK) yang telah menghiasi parasnya secantik mungkin untuk dijajakan, sehingga memikat para lelaki hidung belang yang kehausan seks/mencari “jajanan” di luar. Pandangan seperti ini, terkesan Aceh tak ada bedanya dengan suasana malam di Blok M Jakarta. Apalagi malam Minggu, seakan-akan kata “syariat Islam” hanya omong kosong belaka bila melihat lagi ke suasan malam di tempat remang-remang di Aceh, misal di Pantai Cermin Ulee Lheu, Banda Aceh.

Beda halnya di masa konflik, kegiatan prostitusi tidak merajalela seperti sekarang ini yang menjamur sampai ke pelosok kampung. Walaupun ada, itu hanya di tempat yang ada pengamanan untuk berani melakukannya saja. Tapi sekarang, bila di famplet ditulis “Aceh Aman Ibadah pun Nyaman”, maka taklah salah jika pun ditulis dengan “Aceh Aman untuk Melakukan Maksiat”.

Nah, solusinya, para pihak terkait seperti Satuan Polisi Pamong Praja/Wilayatul Hisbah (Satpol PP/WH), kalau menjaring para pelaku maksiat itu jangan hanya didata dan dibina saja, tapi terapkanlah aturan yang kuat untuk mengatasinya. Bukan apa, tapi karena semua kegiatan prostitusi di Kota Banda Aceh ini seperti ada pihak/angota-anggota yang menjadi pelindung kuat sehingga semua PSK tersebut berani mejalankan aktivitasnya setiap hari.

Saya kira, orang Aceh cepat patuh bila dididik dengan keras, apakah syariat Islam harus diterapkan dengan keras juga di Aceh (bila perlu)? Mungkin ya. Karena selama ini, semua hal itu “alah bisa karena dipaksa” bukan “alah bisa karena biasa”.

Maju dan berkembangnya sebuah daerah tak hanya karena keindahan daerah saja, tapi apa ciri khasnya yang bisa dibanggakan sehingga membuat orang lain membanggakannya. Tak selamanya membangun sebuah daerah itu identik dengan sesuatu yang baru, gedung yang mewah dan bermegah-megah, tapi yang diincar orang luar adalah ciri khas dari penduduk daerah tersebut. Begitu juga dengan syariat Islam di Aceh, bukan berarti dengan diterapkannya syariat Islam Aceh tidak akan berkembang. Hanya saja Aceh ini belum ada pendirian. “Bek sampe awak bulek top ulee, awak Aceh peuleumah punggong”. Dengan adanya syariat Islam yang didukung oleh semua rakyat Aceh sendiri, semoga kegiatan prostitusi bisa dicegah. Karena bila kita ada pendirian, orang lain pasti menaatinya.

Oleh karena itu, untuk melancarkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, khususnya kota Banda Aceh yang merupakan ibukota provinsi, diharapkan peran Pemerintah Aceh untuk memperkuat semua kegiatan yang dilakukan Satpol PP/WH dalam melakukakan semua kegiatan yang bersifat menegakkan syariat Islam di Aceh. Jangan sampai seperti ungkapan “bek tiek kameng lam kawan rimueng (jangan menaruh kambing dalam kerumunan harimau)”. Setidaknya kekuatan Satpol PP/WH lebih ditingkatkan lagi dalam menindak pelaku maksiat, dan diperkuat dengan Undang-undang (Perda) yang lebih kuat pula. Kalau bisa, pihak terkait (Satpol PP/WH) mengajak semua elemen masyarakat/tokoh ulama untuk menghilangkan kegiatan prostitusi di Aceh.

Bila ada segelintir penduduk Aceh yang tidak mendukung tegaknya syariat Islam di Aceh, bolehlah kita katakan kepada mereka: “silahkan ganti KTP” (jangan menjadi orang Aceh lagi). Siapa saja yang terlibat dalam menjalankan kegiatan prostitusi serta menjadi pelindung di semua kegiatan prostitusi di Aceh supaya diberi sanksi yang keras. Bila perlu, dikeluarkan dari Aceh. Berani?
sumber: serambi indonesia

1 komentar:

Sisa Daweut Gata mengatakan...

itulah pemerintah tak punya nyali.....punya kekuasaan...tidak dipergunakan...tunggu ja rakyat yang turun...membakar semua.....