Senin, 10 September 2007

Syariat Islam Penghalang Hiburan
1 September, 2007
by SAMAN UI



Oleh : Aulia Fitri | Ketua Umum Silaturrahmi Mahasiswa Nanggroe Aceh Darussalam Universitas Indonesia (SAMAN UI) Periode 2006/2007, Universitas Indonesia – Depok.

Syariat Islam dan hiburan yang baru-baru belakangan ini menjadi ironi tersendiri dalam masyarakat Serambi Mekkah. Berbagai media baik cetak dan elektronik sempat mengangkat berita atas pembatalannya konser group band papas atas dalam belantika musik Indonesia yakni Nidji di Banda Aceh beberapa minggu yang lalu. Kejadian yang sudah cukup sekian kali terjadi ini, menjadi opini dan buah mulut dalam masyarakat Banda Aceh atas tidak terlaksana acara konser tersebut secara penuh. Banyak dari penonton pada acara konser Nidji yang kecewa saat mengetahui konser tersebut dibatalkan maupun berbagai pihak lainnya, yang menganggap Syariat Islam penghalang untuk menikmati hiburan.

Mencoba melihat kebiasaan yang ada di masyarakat Aceh setelah diberlakukannya Syariat Islam pertama di Indonesia, dari berbagai sudut pandang sebagain kecil memang sudah begitu terlaksana dan diterapkan. Apakah sisi-sisi lainnya masih tetap seperti semula sebelum adanya penerapan syariat Islam?. Hal ini masih menjadi pertimbangan semua kalangan yang menurut masyarakat Aceh sendiri Syariat Islam masih baru terlaksana hanya untuk batas-batas tertentu saja, ya seperti contoh kecil menutup aurat (jilbab), pakaian ketat, khalwat (mesum), dan contoh-contoh lainnya yang dianggap sepele. Namun, untuk masalah-masalah seperti korupsi para pejabat, perampokan yang ada, dan lain sebagainya masih sangat minim dalam penerapan aplikatifnya. Dengan istilah menyentil dari pandangan masyarakat “orang kecil yang nyuri ditanggap plus dicambuk di depan khalayak ramai, toh yang besar-besar korupsi berjuta-juta sampai ber M-M malah hidup enak”. Mungkin itu sebagian besar dari pendapat yang bisa kita temukan dalam masyarakat Aceh setelah adanya penerapan Syariat Islam.

Lalu apa yang dilakukan oleh pihak khususnya Dinas Syariat Islam dalam menangani berbagai pandangan ini, sebenarnya sangat simpel bila kita lihat dari segi peraturan yang berlaku. Yakni Dinas Syariat Islam melaksanakan atau melakukan penerapan sesuai dengan Qanun berlaku yang telah dibuat sedemikian rupa yang secara khusus menerangkan hal-hal dan perkara yang ada dan dilaksanakan secara Islami atau syar’i demi terbentuknya masyarakat Islam yang kaffah, walaupun penerapannya dilapangan masih tersendat-sendat. Hal-hal yang menyangkut sebagai pelaku atau penggerak (WH) dalam Syariat Islam ini pun tidak begitu familiar dengan masyarakat Aceh sendiri. Karena berbagai kasus yang ada di masyarakat tidak sedikit polisi syariat yang dikenal Wilayatul Hisbah (WH) itu sendiri menjadi sasaran objek yang melakukan pelanggaran, sehingga sempat timbul sebuah seruan yang mana dari masyarakat sendiri untuk mengangkat polisi syariat atau WH tersebut harus orang-orang yang sudah berkeluarga sehingga pelanggaran yang dilakukan seperti mesum terjauhi.

Memang hal-hal seperti ini bukanlah sesuatu yang bisa menggambarkan bagaimana penerapan syariat Islam itu tersendiri bisa terlaksana dengan baik, toh orang-orang yang menerapkannya sendiri masih melanggar. Kembali lagi apa yang menjadi inti dari topik ini yaitu Syariat Islam penghalang untuk sarana hiburan. Ada sebuah kata yang terlontar dari seorang cewek yang gagal untuk menyaksikan konser Nidji tanggal 25 – 26 Agustus yang lalu seperti yang penulis kutip pada portal hinamagazine.com “Capeek deh!!!…Cuma gara-gara Syariat Islam kita ngak bisa lagi nonton konser di Aceh”.

Dari sisi ini penulis melihat bahwa formalitas dari sebuah acara yang bersifat hiburan rata-rata yang menjadi audien di Aceh secara umum adalah para remaja dan anak muda-mudi. Secara khusus yang bisa terlihat saat-saat ini untuk skala pelanggaran kecil menyangkut penerapan syariat Islam tidak lain adalah kalangan remaja, pelajar dan mahasiswa. Disini kita mencoba membatasi untuk melihat lingkup para oknum yang sering terlibat, bukannya tidak melihat mereka-mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran besar seperti kasus-kasus korupsi, pencurian, perampokan dan sebagainya. Namun ini semata sebagai fokus untuk bersama-sama bisa kita lakukan perubahan setidaknya dari diri pribadi maupun masyarakat sekitar. Dari kalimat nada kecewa diatas, sangat terlihat bahwa antusiasme para penonton untuk menikmati hiburan lebur begitu saja setelah mengetahui bahwa gara-gara Syariat Islam, keinginannya tidak kecapaian.

Dari berita yang kita dapat memang banyak berbagai protes keras keluar dari sejumlah ormas Islam yang ada di Aceh yang mendesak untuk menghentikan proses konser yang bertemakan “One Nation Concern” tersebut yang dilaksanakan oleh pihak Bunga Even Management. Disini memang sangat terlihat peran dari Majelis Permusyawaratan Ulama khususnya di Banda Aceh, yang terpaksa mencabut surat izin rekomendasi yang dianggap bisa menimbulkan pelanggaran syariah bila acara konser ini berlanjut. Dan sangat disayangkan pula pihak panitia pelaksana sebenarnya telah banyak juga menyalahi aturan dengan berbagai pihak dalam pelaksanaan acara konser tersebut mulai dari kontrak hingga sampai biaya lainnya yang belum terselesaikan dengan pihak-pihak pendukung acara. Hal menarik dari batalnya Konser “One Nation Concern” yang tidak terlaksana sepenuhnya adalah kurang profesionalnya pihak pelaksana. Sehingga banyak orang yang menganggap bahwa pembatalan konser ini akibat adanya syariat Islam yang didesak oleh berbagai pihak ormas Islam. Memang secara syariah, hiburan dalam kontek umum dalam Islam ada batasnya, terlebih lagi untuk penonton seperti kasus konser tersebut maupun konser lainnya yang memisahkan antara penonton laki-laki dan perempuan. Sehingga tidak timbul pelanggaran syariah seperti yang tidak diharapkan. Secara hakiki, kita sebagai manusia hanya sebatas melaksanakan aturan yang ada untuk menghindari pelanggaran seperti yang dilakukan oleh pihak MPU dalam acara konser tersebut. Namun, tidaklah menjamin aturan yang sudah ada bisa berbuah pelanggaran.

Acara yang memang sangat rawan kasus pelanggaran syariah seperti konser ini tetap saja tidak terbendung atas berbagai tindakan yang terjadi dilapangan. Contohnya saja pada malam konser pertama dari hasil pantauan berbagai pihak ormas menemukan berbagai pelanggaran yang sudah menyalahi aturan, walaupun penonton dibatasi dengan hijab antara laki-laki dan perempuan tetap saja ada penonton yang nyerembet masuk ke batas yang telah ditentukan baik laki-laki maupun perempuan. Secara akal sehat hal seperti itu dilakukan memang bukan kebetulan saja, namun niat dari sebagian penonton sendiri yang ingin berbaur. Disinilah perannya kita sebagai masyarakat Aceh yang masih kurangnnya nilai iman dan moral yang semakin hari mulai terkikis terlebih bagi para remaja dan kaum muda mudi. Walaupun masa depan bangsa Aceh pada para mereka pemuda, tetapi bila hal sakral seperti ini dianggap biasa terjadi sah-sah saja, maka bersiaplah kita hancur dari bumi Allah ini. Apalagi tsunami yang menjadi peringatan tidak lagi menjadi landasan untuk bisa kita berpikir dari hikmah dibaliknya, apalagi yang ingin kita terima dari musibah yang akan Allah berikan.

Sebenarnya dari pengamatan kita sehari-hari dimasyarakat Aceh pasca tsunami, nilai-nilai moral yang ada semakin hari terus berkurang bukan sebaliknya. Banda Aceh yang menjadi ibukota propinsi Serambi Mekkah menjadi kelalapan dalam memberikan contoh untuk daerah-daerah lainnya dalam penerapan Syariat Islam. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan dalam masalah hiburan yang terjadi baru-baru ini, sehingga tidak ada pihak yang ikut dirugikan baik secara materi maupun fisik dan juga menjaga nama baik daerah. Inilah PR bersama untuk kita bisa terus benahi, khususnya untuk hiburan seperti konser ini paling tidak bagi pihak penyelenggara telah menyiapkan semua persiapan dengan begitu baiknya dan matang mulai dari tempat, rekomendasi, aturan yang jelas serta kerjasama dengan pihak setempat untuk konsilidasi atas baik tidaknya sebuah acara dilaksanakan. Dari saya penulis menghimbau untuk para-para event organizer atau panitia pelaksana khususnya hiburan konser untuk kedepannya bisa memperhitungkan waktu pelaksanaannya, jangan begitu terpaku di malam hari, karena pengawasan akan sedikit terhalang. Dan juga agar lebih terhindar dari proses pelanggaran syariah, ada baiknya juga acara seperti konser ini tidak dilaksanakan ditempat-tempat arena terbuka, carilah tempat-tempat tertutup seperti indoor/gedung serbaguna sehingga pengawasan yang ada bisa termonitor secara baik dari berbagai pihak baik panitia maupun yang ikut serta dalam pelaksanaan.

Dan diakhir penutup ini penulis kembali mengingatkan semua pihak ormas Islam dan instansi/dinas yang terkait ikut menjaga baik pontesi yang ada dari Syariat Islam di Aceh, kalau memang acara hiburan seperti konser diatas tidak layak untuk urgensi pendukung syariat Islam, kalau perlu ditiadakan, tiadakan saja. Tapi satu hal harus benar-benar dikaji dan dimusyawarahkan secara bersama. Masih banyak kok acara hiburan yang bisa membangkitkan nilai-nilai Islami bukan hanya sebatas hura-hura kesenangan saja.

Sabtu, 01 September 2007

Syariat Islam Penghalang Hiburan
1 September, 2007
by SAMAN UI



Oleh : Aulia Fitri | Ketua Umum Silaturrahmi Mahasiswa Nanggroe Aceh Darussalam Universitas Indonesia (SAMAN UI) Periode 2006/2007, Universitas Indonesia – Depok.

Syariat Islam dan hiburan yang baru-baru belakangan ini menjadi ironi tersendiri dalam masyarakat Serambi Mekkah. Berbagai media baik cetak dan elektronik sempat mengangkat berita atas pembatalannya konser group band papas atas dalam belantika musik Indonesia yakni Nidji di Banda Aceh beberapa minggu yang lalu. Kejadian yang sudah cukup sekian kali terjadi ini, menjadi opini dan buah mulut dalam masyarakat Banda Aceh atas tidak terlaksana acara konser tersebut secara penuh. Banyak dari penonton pada acara konser Nidji yang kecewa saat mengetahui konser tersebut dibatalkan maupun berbagai pihak lainnya, yang menganggap Syariat Islam penghalang untuk menikmati hiburan.

Mencoba melihat kebiasaan yang ada di masyarakat Aceh setelah diberlakukannya Syariat Islam pertama di Indonesia, dari berbagai sudut pandang sebagain kecil memang sudah begitu terlaksana dan diterapkan. Apakah sisi-sisi lainnya masih tetap seperti semula sebelum adanya penerapan syariat Islam?. Hal ini masih menjadi pertimbangan semua kalangan yang menurut masyarakat Aceh sendiri Syariat Islam masih baru terlaksana hanya untuk batas-batas tertentu saja, ya seperti contoh kecil menutup aurat (jilbab), pakaian ketat, khalwat (mesum), dan contoh-contoh lainnya yang dianggap sepele. Namun, untuk masalah-masalah seperti korupsi para pejabat, perampokan yang ada, dan lain sebagainya masih sangat minim dalam penerapan aplikatifnya. Dengan istilah menyentil dari pandangan masyarakat “orang kecil yang nyuri ditanggap plus dicambuk di depan khalayak ramai, toh yang besar-besar korupsi berjuta-juta sampai ber M-M malah hidup enak”. Mungkin itu sebagian besar dari pendapat yang bisa kita temukan dalam masyarakat Aceh setelah adanya penerapan Syariat Islam.

Lalu apa yang dilakukan oleh pihak khususnya Dinas Syariat Islam dalam menangani berbagai pandangan ini, sebenarnya sangat simpel bila kita lihat dari segi peraturan yang berlaku. Yakni Dinas Syariat Islam melaksanakan atau melakukan penerapan sesuai dengan Qanun berlaku yang telah dibuat sedemikian rupa yang secara khusus menerangkan hal-hal dan perkara yang ada dan dilaksanakan secara Islami atau syar’i demi terbentuknya masyarakat Islam yang kaffah, walaupun penerapannya dilapangan masih tersendat-sendat. Hal-hal yang menyangkut sebagai pelaku atau penggerak (WH) dalam Syariat Islam ini pun tidak begitu familiar dengan masyarakat Aceh sendiri. Karena berbagai kasus yang ada di masyarakat tidak sedikit polisi syariat yang dikenal Wilayatul Hisbah (WH) itu sendiri menjadi sasaran objek yang melakukan pelanggaran, sehingga sempat timbul sebuah seruan yang mana dari masyarakat sendiri untuk mengangkat polisi syariat atau WH tersebut harus orang-orang yang sudah berkeluarga sehingga pelanggaran yang dilakukan seperti mesum terjauhi.

Memang hal-hal seperti ini bukanlah sesuatu yang bisa menggambarkan bagaimana penerapan syariat Islam itu tersendiri bisa terlaksana dengan baik, toh orang-orang yang menerapkannya sendiri masih melanggar. Kembali lagi apa yang menjadi inti dari topik ini yaitu Syariat Islam penghalang untuk sarana hiburan. Ada sebuah kata yang terlontar dari seorang cewek yang gagal untuk menyaksikan konser Nidji tanggal 25 – 26 Agustus yang lalu seperti yang penulis kutip pada portal hinamagazine.com “Capeek deh!!!…Cuma gara-gara Syariat Islam kita ngak bisa lagi nonton konser di Aceh”.

Dari sisi ini penulis melihat bahwa formalitas dari sebuah acara yang bersifat hiburan rata-rata yang menjadi audien di Aceh secara umum adalah para remaja dan anak muda-mudi. Secara khusus yang bisa terlihat saat-saat ini untuk skala pelanggaran kecil menyangkut penerapan syariat Islam tidak lain adalah kalangan remaja, pelajar dan mahasiswa. Disini kita mencoba membatasi untuk melihat lingkup para oknum yang sering terlibat, bukannya tidak melihat mereka-mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran besar seperti kasus-kasus korupsi, pencurian, perampokan dan sebagainya. Namun ini semata sebagai fokus untuk bersama-sama bisa kita lakukan perubahan setidaknya dari diri pribadi maupun masyarakat sekitar. Dari kalimat nada kecewa diatas, sangat terlihat bahwa antusiasme para penonton untuk menikmati hiburan lebur begitu saja setelah mengetahui bahwa gara-gara Syariat Islam, keinginannya tidak kecapaian.

Dari berita yang kita dapat memang banyak berbagai protes keras keluar dari sejumlah ormas Islam yang ada di Aceh yang mendesak untuk menghentikan proses konser yang bertemakan “One Nation Concern” tersebut yang dilaksanakan oleh pihak Bunga Even Management. Disini memang sangat terlihat peran dari Majelis Permusyawaratan Ulama khususnya di Banda Aceh, yang terpaksa mencabut surat izin rekomendasi yang dianggap bisa menimbulkan pelanggaran syariah bila acara konser ini berlanjut. Dan sangat disayangkan pula pihak panitia pelaksana sebenarnya telah banyak juga menyalahi aturan dengan berbagai pihak dalam pelaksanaan acara konser tersebut mulai dari kontrak hingga sampai biaya lainnya yang belum terselesaikan dengan pihak-pihak pendukung acara. Hal menarik dari batalnya Konser “One Nation Concern” yang tidak terlaksana sepenuhnya adalah kurang profesionalnya pihak pelaksana. Sehingga banyak orang yang menganggap bahwa pembatalan konser ini akibat adanya syariat Islam yang didesak oleh berbagai pihak ormas Islam. Memang secara syariah, hiburan dalam kontek umum dalam Islam ada batasnya, terlebih lagi untuk penonton seperti kasus konser tersebut maupun konser lainnya yang memisahkan antara penonton laki-laki dan perempuan. Sehingga tidak timbul pelanggaran syariah seperti yang tidak diharapkan. Secara hakiki, kita sebagai manusia hanya sebatas melaksanakan aturan yang ada untuk menghindari pelanggaran seperti yang dilakukan oleh pihak MPU dalam acara konser tersebut. Namun, tidaklah menjamin aturan yang sudah ada bisa berbuah pelanggaran.

Acara yang memang sangat rawan kasus pelanggaran syariah seperti konser ini tetap saja tidak terbendung atas berbagai tindakan yang terjadi dilapangan. Contohnya saja pada malam konser pertama dari hasil pantauan berbagai pihak ormas menemukan berbagai pelanggaran yang sudah menyalahi aturan, walaupun penonton dibatasi dengan hijab antara laki-laki dan perempuan tetap saja ada penonton yang nyerembet masuk ke batas yang telah ditentukan baik laki-laki maupun perempuan. Secara akal sehat hal seperti itu dilakukan memang bukan kebetulan saja, namun niat dari sebagian penonton sendiri yang ingin berbaur. Disinilah perannya kita sebagai masyarakat Aceh yang masih kurangnnya nilai iman dan moral yang semakin hari mulai terkikis terlebih bagi para remaja dan kaum muda mudi. Walaupun masa depan bangsa Aceh pada para mereka pemuda, tetapi bila hal sakral seperti ini dianggap biasa terjadi sah-sah saja, maka bersiaplah kita hancur dari bumi Allah ini. Apalagi tsunami yang menjadi peringatan tidak lagi menjadi landasan untuk bisa kita berpikir dari hikmah dibaliknya, apalagi yang ingin kita terima dari musibah yang akan Allah berikan.

Sebenarnya dari pengamatan kita sehari-hari dimasyarakat Aceh pasca tsunami, nilai-nilai moral yang ada semakin hari terus berkurang bukan sebaliknya. Banda Aceh yang menjadi ibukota propinsi Serambi Mekkah menjadi kelalapan dalam memberikan contoh untuk daerah-daerah lainnya dalam penerapan Syariat Islam. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan dalam masalah hiburan yang terjadi baru-baru ini, sehingga tidak ada pihak yang ikut dirugikan baik secara materi maupun fisik dan juga menjaga nama baik daerah. Inilah PR bersama untuk kita bisa terus benahi, khususnya untuk hiburan seperti konser ini paling tidak bagi pihak penyelenggara telah menyiapkan semua persiapan dengan begitu baiknya dan matang mulai dari tempat, rekomendasi, aturan yang jelas serta kerjasama dengan pihak setempat untuk konsilidasi atas baik tidaknya sebuah acara dilaksanakan. Dari saya penulis menghimbau untuk para-para event organizer atau panitia pelaksana khususnya hiburan konser untuk kedepannya bisa memperhitungkan waktu pelaksanaannya, jangan begitu terpaku di malam hari, karena pengawasan akan sedikit terhalang. Dan juga agar lebih terhindar dari proses pelanggaran syariah, ada baiknya juga acara seperti konser ini tidak dilaksanakan ditempat-tempat arena terbuka, carilah tempat-tempat tertutup seperti indoor/gedung serbaguna sehingga pengawasan yang ada bisa termonitor secara baik dari berbagai pihak baik panitia maupun yang ikut serta dalam pelaksanaan.

Dan diakhir penutup ini penulis kembali mengingatkan semua pihak ormas Islam dan instansi/dinas yang terkait ikut menjaga baik pontesi yang ada dari Syariat Islam di Aceh, kalau memang acara hiburan seperti konser diatas tidak layak untuk urgensi pendukung syariat Islam, kalau perlu ditiadakan, tiadakan saja. Tapi satu hal harus benar-benar dikaji dan dimusyawarahkan secara bersama. Masih banyak kok acara hiburan yang bisa membangkitkan nilai-nilai Islami bukan hanya sebatas hura-hura kesenangan saja.