Rabu, 30 April 2008

http://www.pelita.or.id/baca.php?id=29508

Badan Anti-Maksiat Aceh Kritik Polisi Syariah
[Otonomi Daerah]

Badan Anti-Maksiat Aceh Kritik Polisi Syariah
Banda Aceh, Pelita
Badan Anti-Maksiat (BAM) Provinsi Aceh, mengatakan banyak kejanggalan di tubuh Wilayatul Hisbah (polisi syariah/WH), sehingga pelaksanaan Syariat Islam di daerah itu tidak berjalan maksimal.
Sebenarnya banyak permasalahan di lembaga WH, mulai dari sistem perekrutan petugas yang belum jelas, lemahnya pembinaan, dan banyak petugas tidak menjiwai, sehingga Syariat Islam hanya dijalankan ketika dinas, kata Ketua BAM Aceh Fachruddin di Banda Aceh, Senin (30/4).
Ia juga mengkritik petugas WH wanita yang mengenakan celana panjang dan jilbab dililit ke leher.
Melihat kondisi seperti itu, kami langsung menemui Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Alyasa Abubakar, dan minta pihaknya agar melakukan pembinaan dan pemeriksaan kepada WH, katanya.
Bahkan yang lebih berbahaya lagi ada sebagian anggota WH ketika tidak ada tugas di kantor, mereka bermain game dan ada yang bermain kartu.
Bukannya mengisi waktu kosong dengan membaca Alquran atau kegiatan yang bermanfaat lainnya, seperti membaca tentang hukum Islam, ujarnya.
Dikatakannya, sebenarnya para petugas WH harus dilatih dahulu sebelum turun ke lapangan dan harus diberi pemahaman yang mantap tentang apa yang harus mereka perhatikan, jangan sampai mereka hanya melihat kesalahan orang lain, sehingga kesalahan pribadi terlupakan.
Bahkan, mungkin pihak WH tidak pernah diperkenalkan dengan dasar mesjid yang merupakan pusat pelaksanan Syariat Islam.
Terakhir mereka mengajak kepada Alyasa Abubakar dan siapa pun yang akan menjadi pemimpin ke depan, untuk melihat model kepemimpinan Raja Aceh pada zaman dahulu, yakni Sultan Iskandar Muda, yang pada masa beliau memimpin bumi Aceh ini aman dan sejahtera.
Sinergisitas
Sementara itu, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mengimbau elemen pro-Islam untuk melakukan sinergisitas gerakan dalam mengawal Syariat Islam di Aceh.
Kami mengajak umat Islam untuk bersatu menghadapi musuh-musuh agama yang ingin menghancurkan syariah di Aceh, kata Ketua Umum KAMMI Aceh Basri Efendi.
KAMMI juga mengutuk segala kegiatan yang berusaha menyerang penerapan Syariat Islam dan meminta pihak-pihak yang anti-Islam untuk menghentikan aksinya, kalau tidak akan berhadapan dengan rakyat Aceh.
Ia mengatakan mereka juga mendesak pemerintah bertindak tegas terhadap upaya-upaya pendangkalan akidah. Dia juga mengatakan selama ini penerapan Syariat Islam selalu menimbulkan pro dan kontra. Aliran-aliran yang anti Islam mulai menyerang penerapan syariat secara terbuka.
Banyaknya NGO asing yang masuk ke Aceh, khususnya yang berasal dari belahan negara barat terindikasi melakukan upaya itu, bahkan berbagai seminar yang mereka lakukan selalu menyerang Islam.
Selanjutnya yang paling menyakitkan, mereka memakai antek-antek dari penduduk lokal yang secara kualitas keimanannya sangat kurang dan biasanya mereka sarjana lulusan barat.
Melihat fenomena ini maka sudah jelas ada sebuah skenario besar yang dilakukan di Aceh untuk menggagalkan Syariat Islam, mungkin mereka takut jika Aceh menjadi contoh pertama penegakan syariat di Indonesia, sehingga dikhawatirkan daerah-daerah lain di tanah air akan mengikutinya.
KAMMI berharap umat Islam bersatu dan bahu-membahu mengawal tegaknya Syariat Islam. (ant/jon)
Badan Anti-Maksiat Aceh Kritik Polisi Syariah
[Otonomi Daerah]

Badan Anti-Maksiat Aceh Kritik Polisi Syariah
Banda Aceh, Pelita
Badan Anti-Maksiat (BAM) Provinsi Aceh, mengatakan banyak kejanggalan di tubuh Wilayatul Hisbah (polisi syariah/WH), sehingga pelaksanaan Syariat Islam di daerah itu tidak berjalan maksimal.
Sebenarnya banyak permasalahan di lembaga WH, mulai dari sistem perekrutan petugas yang belum jelas, lemahnya pembinaan, dan banyak petugas tidak menjiwai, sehingga Syariat Islam hanya dijalankan ketika dinas, kata Ketua BAM Aceh Fachruddin di Banda Aceh, Senin (30/4).
Ia juga mengkritik petugas WH wanita yang mengenakan celana panjang dan jilbab dililit ke leher.
Melihat kondisi seperti itu, kami langsung menemui Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Alyasa Abubakar, dan minta pihaknya agar melakukan pembinaan dan pemeriksaan kepada WH, katanya.
Bahkan yang lebih berbahaya lagi ada sebagian anggota WH ketika tidak ada tugas di kantor, mereka bermain game dan ada yang bermain kartu.
Bukannya mengisi waktu kosong dengan membaca Alquran atau kegiatan yang bermanfaat lainnya, seperti membaca tentang hukum Islam, ujarnya.
Dikatakannya, sebenarnya para petugas WH harus dilatih dahulu sebelum turun ke lapangan dan harus diberi pemahaman yang mantap tentang apa yang harus mereka perhatikan, jangan sampai mereka hanya melihat kesalahan orang lain, sehingga kesalahan pribadi terlupakan.
Bahkan, mungkin pihak WH tidak pernah diperkenalkan dengan dasar mesjid yang merupakan pusat pelaksanan Syariat Islam.
Terakhir mereka mengajak kepada Alyasa Abubakar dan siapa pun yang akan menjadi pemimpin ke depan, untuk melihat model kepemimpinan Raja Aceh pada zaman dahulu, yakni Sultan Iskandar Muda, yang pada masa beliau memimpin bumi Aceh ini aman dan sejahtera.
Sinergisitas
Sementara itu, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mengimbau elemen pro-Islam untuk melakukan sinergisitas gerakan dalam mengawal Syariat Islam di Aceh.
Kami mengajak umat Islam untuk bersatu menghadapi musuh-musuh agama yang ingin menghancurkan syariah di Aceh, kata Ketua Umum KAMMI Aceh Basri Efendi.
KAMMI juga mengutuk segala kegiatan yang berusaha menyerang penerapan Syariat Islam dan meminta pihak-pihak yang anti-Islam untuk menghentikan aksinya, kalau tidak akan berhadapan dengan rakyat Aceh.
Ia mengatakan mereka juga mendesak pemerintah bertindak tegas terhadap upaya-upaya pendangkalan akidah. Dia juga mengatakan selama ini penerapan Syariat Islam selalu menimbulkan pro dan kontra. Aliran-aliran yang anti Islam mulai menyerang penerapan syariat secara terbuka.
Banyaknya NGO asing yang masuk ke Aceh, khususnya yang berasal dari belahan negara barat terindikasi melakukan upaya itu, bahkan berbagai seminar yang mereka lakukan selalu menyerang Islam.
Selanjutnya yang paling menyakitkan, mereka memakai antek-antek dari penduduk lokal yang secara kualitas keimanannya sangat kurang dan biasanya mereka sarjana lulusan barat.
Melihat fenomena ini maka sudah jelas ada sebuah skenario besar yang dilakukan di Aceh untuk menggagalkan Syariat Islam, mungkin mereka takut jika Aceh menjadi contoh pertama penegakan syariat di Indonesia, sehingga dikhawatirkan daerah-daerah lain di tanah air akan mengikutinya.
KAMMI berharap umat Islam bersatu dan bahu-membahu mengawal tegaknya Syariat Islam. (ant/jon)

Minggu, 06 April 2008

http://www.nikoya106fm.com/blog/news.php?title=nidji%2C-peterpen-%26amp%3B-marvells-pukau-penggemarnya-di-banda-aceh.&entry_id=1207515600

April, 2008
Nidji, Peterpen & Marvells Pukau Penggemarnya Di Banda Aceh.


Konser A Mild Live Rising Star, Group band Pertepan, Nidji dan Marvells hari minggu 6/4/2008 memukau ribuan pengemarnya di halaman parkir Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya Banda Aceh. Walaupun suasana gerimis namun tidak membuat para penonton beranjak dari tempat.konser kali ini. Group Nidji, Peterpan serta juga Marvel berhasil menghipnotis lebih kurang 13.000 penontonnya Di Banda Aceh.

Dari hasil pantauan Nikoya di lapangan setelah berapa grup band lokal manggung suasana seperti biasa tidak terlihat penonton yang berjinkrak-jingkrak di depan panggung namun suasana berubah saat grup Band Peterpan Ariel naik panggung yang mengenakan jaket hitam membuat penonton berjingkrak di depan panggung. Dalam aksi panggungnya Aril beserta groupnya Peterpan membawa beberapa lagu hit nya seperti.Di balik awan, Mungkin Nanti, Sally Sendiri dan beberapa lagu hit lainnya. Setelah group band peterpan selesai manggung dan MC yang salah satunya adalah penyiar radio Nikoya FM memanggil group Band Nidji dengan vokalis (Giring), susana penonton semakin histeris berbeda dengan aksi panggung Ariel Peterpan.

Sambutan untuk group band Nidji dari (Nidjiholik) Banda Aceh membuat Giring nampak begitu semangat dengan gerakan tangan dan gaya khas Nidji/Giring menyapa para ribuan fansnya di Banda Aceh pada hari minggu 6/4/2008, terlihat Giring vokalis Nidji bersujud di depan ribuan pengemarnya di halaman parkir Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya Banda Aceh.

“Saya sangat bersyukur pada Allah karena akhirnya gua bisa manggung di depan ribuan Nidjiholik Banda Aceh cetus (Giring) vokalis Nidji.

Kerinduan dan kekecewaan tahun lalu group band Nidji dan Nidjiholik terobati sudah karena pada tahun lalu group band Nidji gagal serta dilarang konser di Banda Aceh.

Dalam Aksi panggung group band Nidji saat melantunkan beberapa tembang hitnya seperti Biarlah, Cinta Tak Pernah Sama dan bebera lagu hit Nidji lainnya waktu (Giring) melantunkan lagu Jangan Lupakan mendapat sambutan luar biasa dari ribuan Nidjiholik yang memadati halaman parkir Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya Banda Aceh.

Konser A Mild Live Rising Star yang mengadakan tour untuk 30 kota di Indonesia, Sebelumnya pada sabtu sore 5/4/2008 di lapangan Tunas Bangsa Lhokseumawe sempat di datangi para santri untuk menolak konser tersebut namun konser tetap diadakan.

Namun pada saat di Banda Aceh Minggu sore 6/4/2008 konser A Mild Live Rising Star Peterpan, Nidji, Marvells serta band-band A Mild Live Wanted lainnya di halaman parkir Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya Banda Aceh, yang mana konser tersebut berakhir menjelang maghrib dari hasil pantauan Nikoya konser kali ini berjalan dengan mulus seperti yang di harapkan. (Abu Sidik)


posted by Nikoya 106 FM News Division April 06, 2008 21:00

Rabu, 02 Januari 2008

http://blog.harian-aceh.com/mesum-di-tahun-baru-tantangan-syariat-islam.jsp

Mesum di Tahun Baru, Tantangan Syariat Islam

Tajuk Harian Aceh - 2 January 2008 | 0 Komentar

OPERASI gabungan razia para penggembira tahun baru Masehi membuahkan hasil yang fantastik. Selain mendapati pasangan yang sedang ‘beraksi’ di dalam mobil goyang, hasil kerja aparat Wilayatul Hisbah (WH), Badan Anti Maksiat (BAM), POM, dan polisi sukses menjaring ratusan pasang muda-mudi yang sedang di mabuk asmara. Sampai-sampai kendaraan yang disiapkan untuk para pelanggar syariat Islam tak mampu mengangkut mereka. Akibatnya bisa kita tebak; mereka hanya diberi pengarahan lalu disuruh pulang ke rumah masing-masing.

Menariknya, petugas hanya 150 personel yang diturunkan, tapi yang ditangkap lebih dari itu. Akibatnya, petugas kewalahan menjaring ratusan pasangan tersebut sehingga mereka hanya dibina di tempat kejadian perkara. “Karena terlalu banyak terpaksa kita bina di tempat,” kata Komandan WH Kota Banda Aceh, Irwanda S.Ag.

Catatan peringatan menyongsong tahun baru juga diwarnai dengan kemeriahan. Warga seakan tak terbendung untuk berpartisipasi dalam hiruk-pikuknya pergantian tahun. Kebut-kebutan di jalan sampai darderdor membunyikan petasan menjadi bagian yang tak terbendung itu. Himbauan, fatwa, dan ancaman para tokoh agama seakan tak digubris. Mereka hingar bingat sampai pagi.

Ini bagaikan sebuah parodi atau drama satu babak tentang perang antara keburukan dan kebatilan. Sayangnya, pemenangnya adalah kebatilan. Syariat Islam yang sudah menjadi dasar bagi way of life bangsa Aceh seakan diuji di sini.

Peringatan tahun baru masehi juga telah menjadi ujian bagi para tokoh panutan untuk mampu meyakinkan bahwa Syariat Islam bisa diberlakukan secara kaffah di bumi Serambi Mekkah ini. Sebab peristiwa di tahun baru lalu itu telah menorehkan tinta hitam bagi pemberlakuan Syariah Islam di Aceh. Masyarakat seakan tidak siap untuk menerima kenyataan itu.

Peristiwa ini hendaknya menjadi bahan baku bagi pembuatan qanun-qanun yang akan menyusul nantinya. Jangan sampai qanun yang dibuar justru mengundang pertarungan bagi penganut firqah-firqah atau paham-paham Islam apa yang disebut dengan muslim literalis dan muslim fundamentalis yang belakangan memang sedang tumbuh di bumi Aceh.

Kita hendaknya juga menyadari bahwa pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, masih dipandang sebagai uji coba atau eksperimen. Jika di sini gagal, maka akan sangat mempersulit daerah lain yang menginginkan hal serupa.

Kini, rasanya sulit bagi kita untuk membantah pendapat bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh telah memberikan gambaran yang kuat tentang syariat simbolik. Yang menjadi ukuran dalam pemberlakuan syariat Islam adalah doktrin-doktrin sekunder dalam teks-teks keagamaan.

Dengan kata lain, apa yang terjadi di Aceh dengan pemaknaan syariat tidak menyentuh esensi syariat, melainkan hanya sekadar euforia yang bersifat simbolik. Agama tidak lagi dipahami sebagai esensi, substansi, dan komitmen, tetapi tradisi kearaban yang bersifat sekunder.

Tampaknya juga sulit menyalahkan pendapat bahwa adanya polisi syariat sebagai pengawas dan pengontrol bagi pemberlakuan syariat, maka terjadilah ideologisasi syariat. Artinya, penerapan syariat sangat tergantung pada sejauh mana peran aparat keamanan (polisi), bukan pada kebebasan masyarakat untuk menerapkan ajaran agamanya sesuai dengan pemahamannya.

Implikasinya, polisi syariat sangat dimungkinkan akan melahirkan kecenderungan represif dan otoritarianistik. Syariat hanya akan diterapkan secara terpaksa bagi masyarakat, sedangkan pemerintah lokal dan aparat keamanan tidak mendapatkan kontrol yang serupa.